Jumat, 30 Mei 2014

PENDEKATAN FENOMENOLOGI
(Makalah ini disusun sebagai materi diskusi dalam mata kuliah pengantar studi islam prodi pendididkan fisika 2A)
NAMA DOSEN : Syamsul Aripin.MA

Logo+UIN
Disusun Oleh :
1.      Indah Arifiani.P
1113 0163 00014
2.      Nindya Novianti
1113 0163 00019
3.      Ratih Andriyani
1113 0163 00028


FISIKA 2 A
KELOMPOK II



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKHULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
 JAKARTA
2014




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.
Diantara tokoh orientalis yang mengkaji Islam adalah Annemarie Schimmel. Ia menawarkan pendekatan fenomenologis dalam karya besarnya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam merupakan salah satu cara dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologi. Dechipering The Signs of God yang berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pendekatan fenomenologi?
2.      Apa tujuan dan tugas dari pendekatan fenomenologi ?
3.      Apa objek dari pendekatan fenomenologi?
4.      Apa karakteristik dari pendekatan fenomenologi?
5.      Bagaimana contoh pendekatan fenomenologi?
6.      Apa kelebihan dan kekurangan pendekatan fenomenologi?
7.      Apa problematika dari pendekatan fenomenologi dalam Studi Islam?

C.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode kepustakaan. Metode kepustakaan merupakan pengutipan dari sejumlah karya yang berkaitan dengan tema yang dibahas.

D.    Tujuan Penulisan
1.      Dapat mengetahui pengertian dari pendekatan fenomenologi.
2.      Dapat menegetahui tujuan dan tugas dari pendekatan fenomenologi.
3.      Dapat mengetahui objek dari pendekatan fenomenologi.
4.      Dapat memahami karakteristik dari pendekatan fenomenologi.
5.      Dapat memahami problematika dari pendekatan fenomenologi dalam Studi Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves” atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena berarti “penampakan” seperti pilek, demam dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit. (1)
 Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.(2)
Kata “fenomena” dalam bahasa inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.(3) Akan tetapi, pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.[4]
Pertama kali pada tahun 1764 ia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada hakikat ilusif pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
Akan tetapi mayoritas fenomenologi lebih cenderung mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali menganggap fenomenologi sebagai sebuah wacana yang bersumber dari filsafat ilmu adalah Edmund Husserl (1859-1938). Karyanya yang berjudul Logische Unteruschungen (1900-1901) untuk pertama kali memuat rencana fenomenologi.

Karyanya yang lain adalah Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanmenologischen Philosophie (1913) dan Farmale und Transendentals Logic (1929). Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan fenomenologi harus secara sangat cermat” menempatkan di antara tanda kurung, kenyatan berupa dunia luar. Mulai tahun 1970-an fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metologik, dan mengundang kegiatan menerjemahkan karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulis banyak diterjemahkan orang, dan tetap menjadi acuan utama pendekatan fenomenologi.[5]
Lebih lanjut metode fenomenologi dikembangkan oleh Rudolp Otto, W. Brede Kristensen, Geradus van der Leeuw, dan Mircea Eliade, juga ditunjukkan gejala itu memberikan interprestasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadi tersembunyi dapat pula dipahami.[6]
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Lebih lanjut Erricker menyatakan bahwa filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan ini. Dalam karyanya yang berpengaruh sebagaimana oleh Erricker- The Phenomenology of Spirit (1806). Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (erschinungen). Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi  dan manifestasi ini menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda.[7]
B.     Tujuan dan Tugas dari Pendekatan Fenomenologi
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan (8)
Tujuan dari fenomologi adalah
1.      Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan. (9)
2.      Memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa

C.    Objek Pendekatan Fenomenologi
Objek kajian menurut Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ,yang terdiri dari empat lapisan.
1.      Lapisan terluar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu               
a.       Objek yang suci
Objek yang suci yaitu ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan, waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan, angka suci yang dengannya diukur kesucian objek, ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan yang suci
b.      Kata-kata yang suci
kata-kata yang suci yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan.
c.       Manusia yang suci
Manusia yang suci dan masyarakat yang suci.       
Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi, bisa dilihat, didengarkan. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak nyata tapi merupakan sebuah komuni fisik dengan sang Tuhan.
2.      lapisan dalam yang pertama.              
Schimmel menyebutnya sebagai the world of religious imagination yang terdiri dari konsep ketuhanan, konsep penciptaan , konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan konsep tentang hari akhir .
3.      lapisan dalam kedua 
Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan dari manusia yang suci, objek suci dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.
4.      Lapisan yang paling dalam (pusat)   
Merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh  pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian.  
Pertama, Tuhan sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal yang diekspresikan dengan kata “KAU”.
Kedua, sebagai Tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai “DIA” sebagai kesatuan  yang absolute.[10]
Dari pandangan Schimmel tentang aspek-aspek yang suci tersebut terdapat pada alam , ruang dan waktu, perbuatan, firman Tuhan dan kitab, individu dan masyarakat, serta Tuhan dan ciptaan-Nya.
Menurut William C. Chittick, dalam  karya Schimmel memberikan pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berpikir, memungkinkan apresiasi oleh tradisi keagamaan yang lain.
Dalam karyanya, Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum muslim bahwa setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam. Ia menyimpulkan dengan teliti setiap respon terhadap misteri ilahi berdasarkan sumber orisinil, baik literature klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya. (11)

D.    Karakteristik Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi dalam penilitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya, bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang bersumber dari ajaran agama non islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.
Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
1.      fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa diamati;
2.      fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan
3.      fenomenologi agama diartikan sebagai metode khusus dalam kajian-kajian agama.12

E.     Contoh Pendekatan Fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan.
Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, berziarahsekatenan, dan grebeg mulud.
1.      Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.
2.      Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenek moyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagainyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud.
3.      Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulid Nabi Muhammad Saw yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulid. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama  Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.

F.     Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan. Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan kolektif  dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.

G.    Problematika Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Kesulitan pertama yang dihadapi dalam upaya membangun suatu pendekatan metodologis alternatif yang berakar pada ontologi Islami terletak pada penyingkiran wahyu Tuhan dari wilayah ilmu. Benar bahwa penyingkiran ini memiliki asal-usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat sebagai akibat dari konflik internal antara ke agamaan Barat dengan komunitas ilmiah. Juga benar bahwa dalam tradisi Islam, wahyu dan ilmu tidak pernah dipahami sebagai dua hal yang eksklusif. Namun seorang sarjana muslim hampir tidak pernah dapat mengabaikan fakta bahwa wahyu ketuhanan berada di luar aktivitas ilmiah modern.[13]
Serangan gencar terhadap wahyu, yang membawa penyingkiran-nya dari upaya ilmiah Barat, terjadi melalui dua fase. Wahyu disamakan dengan metafisika yang tidak memiliki landasan dan menetapkannya sebagai suatu rival pengetahuan, dipertentangkan dengan pengetahuan yang dianggap benar oleh akal.[14]
Penyingkiran Barat modern terhadap wahyu dari wilayah ilmu tidak didasarkan pada penolakan atas kenyataan bahwa wahyu Tuhan membuat pernyataan yang tidak jelas tentang watak realitas. Penyingkiran itu lebih didasarkan pada pernyataan bahwa hanya realitas empiris yang dapat dipahami. Karena realitas non-empiris (metafisis) tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman, maka ia tidak dapat dimasukkan ke dalam wilayah ilmu.[15] Maka ditegaskan menurut Kant bahwa aktivitas ilmiah mesti dibatasi pada realitas empiris, karena akal manusia tidak dapat menentukan realitas absolut.
Argumen di atas adalah argumen yang sederhana dan keliru, karena ia mengabaikan dan mengaburkan sifat dari bukti wahyu dan bukti empiris .Pertama, pengetahuan tentang realitas empiris tidak didasarkan pada pengetahuan yang dipahami secara langsung dan empiris dari lingkungan, tetapi pada teori-teori yang mendeskripsikan struktur dasar realita. Struktur itu tidak segera dapat dipahami oleh indera. Di samping itu, struktur eksistens empiris diinferensiasikan melalui penggunaan kategori-kategori yang diabstraksikan dari hal yang terindera, dan dimediasikan melalui kategori-kategori dan pernyataan-pernyataan rasional murni. Dengan menggunakan terminologi Lock, kita dapat mengatakan bahwa teori-teori yang kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas empiris terdiri dari proposisi-proposisi kompleks yang diperoleh dengan mengkombinasikan sejumlah proposisi-proposisi sederhana. Oleh karena itu pemahaman kita tentang hubungan antara bumi dan matahari dimediasikan oleh konstruk mental, dan oleh karenanya sama sekali berbeda dari kesan singkat yang dipahami oleh indera.[16]
Kedua, argumen di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut pandang wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas transendental, dan oleh karenanya memiliki suatu makna hanya dalam kaitannya dengan yang transendental. Bahkan Alqur’an penuh dengan ayat-ayat (atau tanda) yang menyatakan kesalinghubungan antara yang empiris dan transendental.[17]
Yang paling penting, wahyu menggarisbawahi pentingnya fakta bahwa yang empiris tidak memiliki makna ketika ia dipisahkan dari totalitasnya, seperti yang ingin diakui oleh ilmu Barat, melampaui batas-batas realitas empiris.[18]
Dengan demikian, wahyu harus didekati bukan sebagai sejumlah pernyataan yang dapat diakses secara langsung, tetapi sebagai fenomena terberi yang terdiri dari tanda-tanda, dimana untuk memahaminya dibutuhkan interpretasi dan sistematiasasi yang konstan dan terus menerus. Bahkan Alqur’an menjelaskan dengan gamblang bahwa ia terdiri dari tanda (ayat) dimana pemahaman terhadapnya bergantung kepada proses pemikiran, kontemplasi dan penalaran.[19]
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir (13:3)
Sesungguhnya Kami jelaskan beberapa ayat kepada mereka yang mengetahui (6:97).
Penelitian di atas menggarisbawahi fakta bahwa untuk memahami kebenaran wahyu, orang harus mendekatinya dengan cara yang sama dengan pendekatan terhadap fenomena-fenomena sosial atau bahkan fenomena alam. Alasannya, kebenaran seluruh fenomena itu tergantung pada kemampuan teori-teori yang dibangun oleh para sarjana dan ilmuan berdasarkan data yang berasal dari fenomena itu dalam menghasilkan penjelasan yang memuaskan terhadap realitas yang dialami.[20]
Penempatan wahyu sebagai fenomena, dan oleh karenanya sebagai sumber pengetahuan dapat dibenarkan dengan mengutip alasan lain. Kualitas bukti yang digunakan untuk memahami realitas (yakni untuk menunjukkan secara objektif) yang dideskripsikan oleh teori-teori empiris, tidak memiliki mutu yang lebih tinggi dari bukti yang digunakan memahami realitas yang dideskripsikan oleh wahyu. Dalam kedua kasus tersebut, eksistensi fenomena yang dipahami secara bersamaan dilahirkan di dalam kesadaran berbagai individu yang memiliki kesempatan untuk mengalami elemen-elemen dasar fenomena dari dekat. Berarti, sebagaimana fenomena sosial atau fisik dapat dipahami oleh orang-orang yang telah mengalami berbagai elemen-elemen yang menyusunnya, maka wahyu Tuhan juga dapat dipahami oleh orang yang memiliki pengalaman tentang kebenaran berbagai tanda yang menyusunnya. Dalam kedua kasus kebenaran tentang sesuatu yang diperoleh dengan serta merta, dipahami secara intuitif. Satu-satunya perbedaan bahwa realitas empiris yang dialami melalui indera dipahami melalui intuisi empiris, sementara realitas transendental yang dialami melalui wahyu dipahami melalui intuisi murni.[21]
Benar, bahwa ilmu Barat, dimulai dari Kant membatasi intuisi kesatuan elemen-elemen yang dipahami dari suatu fenomena kepada intuisi empiris, dengan menolak bahwa elemen transendental dapat dipahami. Tetapi Kant, seperti telah kita lihat sebelumnya, mampu mencapai reduksi ini dengan menciptakan kebingungan tentang proses intuisi murni. Meskipun sekilas Kant tampak secara benar memahami intuisi sebagai “seluruh representasi … dimana tidak ada sesuatu apapun yang tergolong sebagai sensasi”, namun dia menegaskan bahwa penggunaan intuisi murni mesti dibatasi pada realitas empiris. Tetapi jika intuisi murni dipahami sebagai suatu hasil abstraksi berturut-turut dari representasi yang beragam yang diperoleh melalui intuisi empiris, membawa pada suatu intuisi tunggal, dimana seluruh konsep disatukan. Penolakan Kant untuk mengakui realitas transendental yang dipahami dengan intuisi murni adalah sesuatu yang arbitrer dan dogmatik.[22]















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini dapat disumpulkan yaitu:
1.      Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
2.      Tujuan pendekatan fenomenologi yaitu: memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.
3.      Objek kajian menurut Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam.
B.     Kritik dan Saran
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kepada pembaca agar memberikan kritik dan saran yang membangun.








DAFTAR PUSTAKA


Echols, John M. dan Hassan Shadily.  Kamus Inggris Indonesia, Cet XX. Jakarta: PT Gramedia, 1992.
Erricker, Clive. Pendekatan Fenomenologis. dalam Peter Connoly (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Cet. I. Yogyakarta: LKIS, 2002.
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Magetsari, Noerhadi.  Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya.  dalam M. Deden Ridwan (Ed). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Cet. I. Bandung: Penerbit Nuansa, 2001.
Mahmud, Ali abdul halim. Tradisi Baru Penelitian Agama Bandung: Nuansa.2001.
Muhadjir,  Noeng. Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Cet. II. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Naim, Ngainun.  Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Teras. 2009.    
                       
Safi, Lousy. Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri. Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001.

Zakiyuddin, Baidhawy. Studi Islam Pendekatan dan Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani.2011.








GLOSARIUM

1.      Hakikat ilusif adalah Pada masa lambert juga menggunakan istilah fenomenologi ini untuk merujuk pada hakikat ilusif pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
2.      Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan).
3.      Esensi adalah hakikat; inti; hal yg pokok: pertikaian antara kedua tokoh itu ialah pertentangan ideology
4.      Manifestasi adalah perwujudan atau bentuk dr sesuatu yg tidak kelihatan: negara kesatuan Republik Indonesia merupakan cita-cita bangsa.
5.      Entitas adalah satuan yg berwujud; wujud.
6.      Metafisika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan.
7.      Rasional adalah menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal.
8.      Apresiasi adalah kesadaran terhadap nilai seni dan budaya.
9.      Orisinil adalah  asli; tulen.
10.  Investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta melakukan peninjauan, percobaan, dsb, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan (tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dsb).
11.  Progresif adalah berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk).
12.  Pluralism adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).
13.  Multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.
14.  Imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan (angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.
15.  Realisme adalah paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan;
16.  Subjektif adalah mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya.
17.  Antologi adalah kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang.
18.  Eksklusif adalah terpisah dari yang lain; khusus: wartawan itu beruntung krn mendapat kesempatan mengadakan wawancara
19.  Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan uang, dsb: pihak kepolisian telah mengadakan terhadap pernyataan salah seorang anggota partai tentang adanya keterlibatan purnawirawan TNI di kasus pemalsuan uang.
20.  Justifikasi adalah putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani: salah satu menaikkan gaji pegawai adalah untuk memperbaiki pelayanan jasa publik. 
21.  Sistematisasi adalah pengaturan dsb sesuai dengan sistem; penggunaan sistem: pemerintah daerah itu dapat pula diterangkan di daerah lain.
22.  Transcendental adalah menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian.
23.  Gambling adalah jelas dan mudah dimengerti.
24.  Intuitif adalah bersifat (secara) intuisi, berdasar bisikan (gerak) hati.
25.  Intuisi adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati.
26.  Sensasi adalah yang membuat perasaan terharu; yg merangsang emosi: surat kabar ini selalu memuat kabar.
27.  Arbitrer adalah sewenang-wenang.
28.  Toleran adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
29.  Toleran adalah tingkatan masa (perubahan, perkembangan, dsb): demi di perjuangan kemerdekaan selalu kita hadapi dng ketabahan; tiap perkembangan manusia dianggap sebagai suatu peralihan.
30.  Empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya di keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar