PENDEKATAN
FENOMENOLOGI
(Makalah ini disusun sebagai materi diskusi dalam
mata kuliah pengantar studi islam prodi pendididkan fisika 2A)
NAMA DOSEN : Syamsul Aripin.MA
Disusun
Oleh :
1. Indah Arifiani.P
|
1113 0163 00014
|
2. Nindya Novianti
|
1113 0163 00019
|
3. Ratih Andriyani
|
1113 0163 00028
|
FISIKA
2 A
KELOMPOK
II
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKHULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai
agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama
sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang
sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu
bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang
diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk
mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang
non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
Namun
Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini
kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan
terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran
agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang
bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa
mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan
Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan
yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Fenomenologi adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha
mencari hakekat dari apa yang ada
di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam
kehidupan manusia di bumi.
Pendekatan
agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda)
dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan
supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut
pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.
Diantara tokoh
orientalis yang mengkaji Islam adalah Annemarie Schimmel. Ia menawarkan pendekatan
fenomenologis dalam karya besarnya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological
Approach to Islam merupakan salah satu cara dalam upaya pendekatan pemahaman
terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologi. Dechipering The Signs of God
yang berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda
Tuhan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari pendekatan
fenomenologi?
2.
Apa tujuan dan tugas dari
pendekatan fenomenologi ?
3.
Apa objek dari pendekatan
fenomenologi?
4.
Apa karakteristik dari pendekatan
fenomenologi?
5.
Bagaimana contoh pendekatan
fenomenologi?
6.
Apa kelebihan dan kekurangan
pendekatan fenomenologi?
7.
Apa problematika dari pendekatan
fenomenologi dalam Studi Islam?
C.
Metode
Penulisan
Metode
penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode kepustakaan. Metode
kepustakaan merupakan pengutipan dari sejumlah karya yang berkaitan dengan tema
yang dibahas.
D.
Tujuan
Penulisan
1. Dapat
mengetahui pengertian dari pendekatan fenomenologi.
2. Dapat
menegetahui tujuan dan tugas dari pendekatan fenomenologi.
3. Dapat
mengetahui objek dari pendekatan fenomenologi.
4. Dapat
memahami karakteristik dari pendekatan fenomenologi.
5. Dapat
memahami problematika dari pendekatan fenomenologi dalam Studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau
terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves”
atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena
berarti “penampakan” seperti pilek, demam dan meriang yang menunjukkan fenomena
gejala penyakit. (1)
Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman
dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era
Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.(2)
Kata “fenomena”
dalam bahasa inggris disebut phenomena
atau phenomenon secara
etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.(3)
Akan tetapi, pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.[4]
Pertama kali pada
tahun 1764 ia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada hakikat ilusif
pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang
membedakan kebenaran dari kesalahan.
Akan
tetapi mayoritas fenomenologi lebih cenderung mengatakan bahwa tokoh yang
pertama kali menganggap fenomenologi sebagai sebuah wacana yang bersumber dari
filsafat ilmu adalah Edmund Husserl (1859-1938). Karyanya yang
berjudul Logische Unteruschungen (1900-1901) untuk pertama kali memuat
rencana fenomenologi.
Karyanya
yang lain adalah Ideen zu
einer reinen Phanomenologie und Phanmenologischen Philosophie (1913) dan Farmale und Transendentals
Logic (1929). Di dalam buku
tersebut ia mengatakan bahwa seorang fenomenolog harus secara sangat cermat
“menempatkan fenomenologi harus secara sangat cermat” menempatkan di antara tanda
kurung, kenyatan berupa dunia
luar. Mulai tahun 1970-an fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai
disiplin ilmu sebagai pendekatan metologik, dan mengundang kegiatan
menerjemahkan karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik
karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya
utamanya maupun artikel-artikel yang ditulis banyak diterjemahkan orang, dan
tetap menjadi acuan utama pendekatan fenomenologi.[5]
Lebih
lanjut metode fenomenologi dikembangkan oleh Rudolp Otto, W. Brede Kristensen, Geradus van
der Leeuw, dan Mircea Eliade,
juga ditunjukkan gejala itu memberikan interprestasi terhadap gejala itu
sehingga maknanya yang tadi tersembunyi dapat pula dipahami.[6]
Pendekatan
fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren
bagi studi agama. Lebih lanjut Erricker menyatakan bahwa filsafat Hegel dapat
menjadi dasar dibangunnya pendekatan ini. Dalam karyanya yang berpengaruh
sebagaimana oleh Erricker- The
Phenomenology of Spirit (1806). Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami
melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (erschinungen).
Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman
bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga
didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan terhadap
hubungan antara esensi dan manifestasi ini
menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada
dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda.[7]
B. Tujuan dan Tugas dari Pendekatan Fenomenologi
Sejak zaman Edmund Husserl,
arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir.
Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya.
Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan
agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena
yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan
mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus
dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan.
Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan (8)
Tujuan dari fenomologi adalah
1. Mengungkapkan
atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam
bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan. (9)
2. Memahami
pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah
satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami
islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya
dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat
dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa
C.
Objek Pendekatan Fenomenologi
Objek
kajian menurut Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan
fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ,yang terdiri dari empat
lapisan.
1. Lapisan terluar, yang terdiri dari tiga
bagian yaitu
a. Objek yang suci
Objek yang suci yaitu ruang yang suci di mana
tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan, waktu yang suci di mana
dilaksanakan ritual keagamaan, angka suci yang dengannya diukur kesucian objek,
ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan yang suci
b. Kata-kata yang suci
kata-kata yang suci yaitu kata-kata yang
diucapkan (firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda,
ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan,
penyerahan.
c. Manusia yang suci
Manusia yang suci dan masyarakat yang suci.
Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa
diobservasi, bisa dilihat, didengarkan. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang
tak nyata tapi merupakan sebuah komuni fisik dengan sang Tuhan.
2. lapisan dalam yang pertama.
Schimmel menyebutnya sebagai the
world of religious imagination yang terdiri dari konsep ketuhanan, konsep
penciptaan , konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan konsep
tentang hari akhir .
3. lapisan dalam kedua
Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang
sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai
keagamaan yang di dalamnya merupakan dari manusia yang suci, objek suci dan
perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan,
dan cinta kepada Tuhan.
4. Lapisan yang paling dalam (pusat)
Merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui
seluruh pikiran dalam,
pengalaman hati, melalui dua pengertian.
Pertama, Tuhan
sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci,
Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan
yang personal yang diekspresikan dengan kata “KAU”.
Kedua,
sebagai Tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai “DIA” sebagai kesatuan yang absolute.[10]
Dari
pandangan Schimmel tentang aspek-aspek yang suci tersebut terdapat pada alam ,
ruang dan waktu, perbuatan, firman Tuhan dan kitab, individu dan masyarakat,
serta Tuhan dan ciptaan-Nya.
Menurut William C. Chittick, dalam
karya Schimmel memberikan pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa.
Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka
berpikir, memungkinkan apresiasi oleh tradisi keagamaan yang lain.
Dalam karyanya, Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang
terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum muslim bahwa
setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta
dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam. Ia
menyimpulkan dengan teliti setiap respon terhadap misteri ilahi berdasarkan
sumber orisinil, baik literature klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi
yang bisa dipertimbangkan kebenarannya. (11)
D. Karakteristik Pendekatan
Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi dalam penilitian
bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan
sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi tantangan bagi
peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang peneliti harus
menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya, bukan berdasarkan
prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang bersumber dari ajaran
agama non islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan
dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari
pendekatan-pendekatan yang sempit.
Dari
pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi
agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
1.
fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah
investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan
peristiwa agama yang bisa diamati;
2.
fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian
komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan
E. Contoh Pendekatan Fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak
kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak
terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima
dengan mudah dan tanpa ketakutan.
Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan
hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, berziarah, sekatenan,
dan grebeg mulud.
1. Tahlilan
Tahlilan
adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal,
yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang
yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan
meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam
pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat
Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum
atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya,
serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para
kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara
tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah
itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari
kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi
Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha.
Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan
secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian,
7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000
hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam.
Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal,
melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan
diterima keimanan Islamnya.
2. Ziarah
Dalam
agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan
untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang
Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya.
Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh
kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi
berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh
nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah
bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di
antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenek moyang atau arwah tokoh-tokoh
penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh
mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal.
Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup,
seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang
lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagainyadran atau nyekar.
Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam
tradisi Islam sekarang.
Alkisah,
pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan
acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi
penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun
sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti
ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam
bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah
(Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan
Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para
penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari
Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan
mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang
dimaksud.
3. Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara
sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulid Nabi
Muhammad Saw yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan
merupakan bagian dari acara grebeg Maulid. Sunan Bonang,
seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya.
Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang
kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua
pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan
kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah
yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.
F. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan
Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir
merupakan suatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang
hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah
memberi dorongan yang sangat penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa
tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan
mencari hakikat keberagamaan. Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal
agama-agama, akan dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang
terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan
multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu
menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama
yang berbeda-beda serta diperoleh
pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl
fenomenologi masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika
membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia
berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri). Ini berarti ia
melupakan pekerjaan kolektif dari pembentukan alam objek dan sejarah.
Pada konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau
larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret
sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang
manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai
pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi
sebagai muatan realisme. Selanjutnya,
fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek
yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau
tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung
subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi
tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau
kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.
G. Problematika Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Islam
Kesulitan
pertama yang dihadapi dalam upaya membangun suatu pendekatan metodologis
alternatif yang berakar pada ontologi Islami terletak pada penyingkiran wahyu
Tuhan dari wilayah ilmu. Benar bahwa penyingkiran ini memiliki asal-usul dalam
batasan tradisi ilmiah Barat sebagai akibat dari konflik internal antara ke
agamaan Barat dengan komunitas ilmiah. Juga benar bahwa dalam tradisi Islam,
wahyu dan ilmu tidak pernah dipahami sebagai dua hal yang eksklusif. Namun
seorang sarjana muslim hampir tidak pernah dapat mengabaikan fakta bahwa wahyu
ketuhanan berada di luar aktivitas ilmiah modern.[13]
Serangan
gencar terhadap wahyu, yang membawa penyingkiran-nya dari upaya ilmiah Barat,
terjadi melalui dua fase. Wahyu disamakan dengan metafisika yang tidak memiliki
landasan dan menetapkannya sebagai suatu rival pengetahuan, dipertentangkan
dengan pengetahuan yang dianggap benar oleh akal.[14]
Penyingkiran
Barat modern terhadap wahyu dari wilayah ilmu tidak didasarkan pada penolakan
atas kenyataan bahwa wahyu Tuhan membuat pernyataan yang tidak jelas tentang
watak realitas. Penyingkiran itu lebih didasarkan pada pernyataan bahwa hanya
realitas empiris yang dapat dipahami. Karena realitas non-empiris (metafisis)
tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman, maka ia tidak dapat dimasukkan ke
dalam wilayah ilmu.[15] Maka ditegaskan menurut Kant bahwa
aktivitas ilmiah mesti dibatasi pada realitas empiris, karena akal manusia
tidak dapat menentukan realitas absolut.
Argumen
di atas adalah argumen yang sederhana dan keliru, karena ia mengabaikan dan
mengaburkan sifat dari bukti wahyu dan bukti empiris .Pertama,
pengetahuan tentang realitas empiris tidak didasarkan pada pengetahuan yang
dipahami secara langsung dan empiris dari lingkungan, tetapi pada teori-teori
yang mendeskripsikan struktur dasar realita. Struktur itu tidak segera dapat
dipahami oleh indera. Di samping itu, struktur eksistens empiris
diinferensiasikan melalui penggunaan kategori-kategori yang diabstraksikan dari
hal yang terindera, dan dimediasikan melalui kategori-kategori dan
pernyataan-pernyataan rasional murni. Dengan menggunakan terminologi Lock, kita
dapat mengatakan bahwa teori-teori yang kita gunakan untuk mendeskripsikan
realitas empiris terdiri dari proposisi-proposisi kompleks yang diperoleh
dengan mengkombinasikan sejumlah proposisi-proposisi sederhana. Oleh karena itu
pemahaman kita tentang hubungan antara bumi dan matahari dimediasikan oleh
konstruk mental, dan oleh karenanya sama sekali berbeda dari kesan singkat yang
dipahami oleh indera.[16]
Kedua,
argumen di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan
islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut pandang
wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas transendental, dan
oleh karenanya memiliki suatu makna hanya dalam kaitannya dengan yang
transendental. Bahkan Alqur’an penuh dengan ayat-ayat (atau tanda) yang
menyatakan kesalinghubungan antara yang empiris dan transendental.[17]
Yang
paling penting, wahyu menggarisbawahi pentingnya fakta bahwa yang empiris tidak
memiliki makna ketika ia dipisahkan dari totalitasnya, seperti yang ingin
diakui oleh ilmu Barat, melampaui batas-batas realitas empiris.[18]
Dengan
demikian, wahyu harus didekati bukan sebagai sejumlah pernyataan yang dapat
diakses secara langsung, tetapi sebagai fenomena terberi yang terdiri dari
tanda-tanda, dimana untuk memahaminya dibutuhkan interpretasi dan
sistematiasasi yang konstan dan terus menerus. Bahkan Alqur’an menjelaskan
dengan gamblang bahwa ia terdiri dari tanda (ayat) dimana pemahaman terhadapnya
bergantung kepada proses pemikiran, kontemplasi dan penalaran.[19]
Sesungguhnya
pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir (13:3)
Sesungguhnya
Kami jelaskan beberapa ayat kepada mereka yang mengetahui (6:97).
Penelitian
di atas menggarisbawahi fakta bahwa untuk memahami kebenaran wahyu, orang harus
mendekatinya dengan cara yang sama dengan pendekatan terhadap fenomena-fenomena
sosial atau bahkan fenomena alam. Alasannya, kebenaran seluruh fenomena itu
tergantung pada kemampuan teori-teori yang dibangun oleh para sarjana dan
ilmuan berdasarkan data yang berasal dari fenomena itu dalam menghasilkan penjelasan
yang memuaskan terhadap realitas yang dialami.[20]
Penempatan
wahyu sebagai fenomena, dan oleh karenanya sebagai sumber pengetahuan dapat
dibenarkan dengan mengutip alasan lain. Kualitas bukti yang digunakan untuk
memahami realitas (yakni untuk menunjukkan secara objektif) yang dideskripsikan
oleh teori-teori empiris, tidak memiliki mutu yang lebih tinggi dari bukti yang
digunakan memahami realitas yang dideskripsikan oleh wahyu. Dalam kedua kasus tersebut,
eksistensi fenomena yang dipahami secara bersamaan dilahirkan di dalam
kesadaran berbagai individu yang memiliki kesempatan untuk mengalami
elemen-elemen dasar fenomena dari dekat. Berarti, sebagaimana fenomena sosial
atau fisik dapat dipahami oleh orang-orang yang telah mengalami berbagai
elemen-elemen yang menyusunnya, maka wahyu Tuhan juga dapat dipahami oleh orang
yang memiliki pengalaman tentang kebenaran berbagai tanda yang menyusunnya.
Dalam kedua kasus kebenaran tentang sesuatu yang diperoleh dengan serta merta,
dipahami secara intuitif. Satu-satunya perbedaan bahwa realitas empiris yang
dialami melalui indera dipahami melalui intuisi empiris, sementara realitas
transendental yang dialami melalui wahyu dipahami melalui intuisi murni.[21]
Benar,
bahwa ilmu Barat, dimulai dari Kant membatasi intuisi kesatuan elemen-elemen
yang dipahami dari suatu fenomena kepada intuisi empiris, dengan menolak bahwa
elemen transendental dapat dipahami. Tetapi Kant, seperti telah kita lihat
sebelumnya, mampu mencapai reduksi ini dengan menciptakan kebingungan tentang
proses intuisi murni. Meskipun sekilas Kant tampak secara benar memahami
intuisi sebagai “seluruh representasi … dimana tidak ada sesuatu apapun yang
tergolong sebagai sensasi”, namun dia menegaskan bahwa penggunaan intuisi murni
mesti dibatasi pada realitas empiris. Tetapi jika intuisi murni dipahami
sebagai suatu hasil abstraksi berturut-turut dari representasi yang beragam
yang diperoleh melalui intuisi empiris, membawa pada suatu intuisi tunggal,
dimana seluruh konsep disatukan. Penolakan Kant untuk mengakui realitas
transendental yang dipahami dengan intuisi murni adalah sesuatu yang arbitrer
dan dogmatik.[22]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini
dapat disumpulkan yaitu:
1. Pendekatan fenomenologi
adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam
gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan
penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh
di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
2. Tujuan
pendekatan fenomenologi yaitu: memahami pemikiran, tingkah laku, dan
lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi,
metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.
3. Objek kajian menurut Schimmel dalam memahami
Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang
terdapat di alam.
B.
Kritik
dan Saran
Penyusun menyadari bahwa
masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penyusun
mengharapkan kepada pembaca agar memberikan kritik dan saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Echols, John M. dan Hassan
Shadily. Kamus Inggris Indonesia, Cet XX.
Jakarta: PT Gramedia, 1992.
Erricker, Clive. Pendekatan Fenomenologis. dalam Peter
Connoly (Ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Cet. I. Yogyakarta: LKIS, 2002.
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Magetsari, Noerhadi. Penelitian
Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya.
dalam M. Deden Ridwan (Ed). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam;
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Cet. I. Bandung: Penerbit Nuansa, 2001.
Mahmud, Ali abdul halim. Tradisi Baru Penelitian Agama Bandung: Nuansa.2001.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu: Telaah
Sistematis Fungsional Komparatif, Cet. II. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Naim, Ngainun. Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Teras. 2009.
Safi, Lousy. Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam
Khoiri. Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001.
Zakiyuddin,
Baidhawy. Studi Islam Pendekatan dan
Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani.2011.
https://www.google.com/#hl=en&biw=1280&bih=567&sclient=psyab&q=tinjauan+kritis+atas+pemikiran+schemmel&oq=tinjauan+kritis+atas+pemikiran+schemmel&gs (Diakses tanggal 11 Mei 2014 Pukul
15.45).
GLOSARIUM
1. Hakikat ilusif adalah Pada masa lambert juga menggunakan istilah fenomenologi ini untuk merujuk pada hakikat ilusif
pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang
membedakan kebenaran dari kesalahan.
2. Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat
menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal
sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi
berurutan).
3. Esensi adalah hakikat; inti; hal yg pokok: pertikaian antara kedua
tokoh itu ialah pertentangan ideology
4.
Manifestasi adalah perwujudan
atau bentuk dr sesuatu yg tidak kelihatan: negara
kesatuan Republik Indonesia merupakan cita-cita bangsa.
5. Entitas adalah satuan yg berwujud; wujud.
6. Metafisika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik
atau tidak kelihatan.
7.
Rasional adalah menurut
pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan
akal.
8. Apresiasi adalah kesadaran terhadap nilai seni dan budaya.
9. Orisinil adalah asli; tulen.
10. Investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta melakukan
peninjauan, percobaan, dsb, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan
(tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dsb).
11. Progresif adalah berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk).
12. Pluralism adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).
13. Multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh
kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.
14. Imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan (angan-angan) atau menciptakan
gambar (lukisan, karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman
seseorang.
15. Realisme adalah paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan;
16. Subjektif adalah mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung
mengenai pokok atau halnya.
17. Antologi adalah kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang
pengarang.
18. Eksklusif adalah terpisah dari yang lain; khusus: wartawan itu beruntung krn mendapat
kesempatan mengadakan wawancara
19. Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan
uang, dsb: pihak kepolisian
telah mengadakan terhadap pernyataan salah seorang anggota partai tentang adanya
keterlibatan purnawirawan TNI di kasus pemalsuan uang.
20. Justifikasi adalah putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani: salah satu menaikkan gaji pegawai
adalah untuk memperbaiki pelayanan jasa publik.
21. Sistematisasi adalah pengaturan dsb sesuai dengan sistem; penggunaan sistem: pemerintah
daerah itu dapat pula diterangkan di daerah lain.
22. Transcendental adalah menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian.
23. Gambling adalah jelas dan mudah dimengerti.
24. Intuitif adalah bersifat (secara) intuisi, berdasar bisikan (gerak) hati.
25. Intuisi adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa
dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati.
26. Sensasi adalah yang membuat perasaan terharu; yg merangsang emosi: surat kabar ini selalu memuat kabar.
27. Arbitrer adalah sewenang-wenang.
28. Toleran adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,
dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
29. Toleran adalah tingkatan masa (perubahan, perkembangan, dsb): demi di
perjuangan kemerdekaan selalu kita hadapi dng ketabahan; tiap perkembangan
manusia dianggap sebagai suatu peralihan.
30. Empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau
mengidentifikasi dirinya di keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan
orang atau kelompok lain.